Dudi Rustandi

Sampurasun Wargi

Catatan ini saya dedikasikan untuk dunia seolah-olah '

Catatan Seolah-olah

Portofolio Catatan Receh tentang dunia seolah-olah'

Beberapa Tulisan Koran 
 

Menjelang akhir tahun, salah satu refleksi yang saya lakukan adalah telah masuk tahun kedua, tidak ada tulisan reflektif yang dipublikasikan media massa. Padahal, eksistensi tersebut sangat terasa, walaupun bisa jadi semu belaka.

Sepanjang Pandemi 2020, 4 tulisan yang dikirimkan ke media tidak bersambut dengan baik. Memang, 2020 menjadi tahun-tahun terberat, selain karena pekerjaan yang jauh dari ekspektasi, tidak memiliki kampus yang bisa diklaim sebagai sumber pendapatan utama, juga karena kondisi keuangan yang cukup parah. 

Walaupun menjadi tahun terberat, satu dua atau tiga tulisan tetap bisa dihasilkan dari tangan gempalku, yang orang bilang jempol semua hehehe. Biar jempol semua, sudah bisa menghasilkan jutaan dari menulis di media massa. Sombongnya mungkin begitu.

Selain menjadi tahun terberat, tahun 2020 juga menjadi tahun refleksi karena ternyata banyak media cetak yang mengurangi rubrik dan oplah. Pikiran Rakyat, Tribun Jabar, bahkan saat langganan Kompas juga ternyata berkurang setengahnya lebih. Rubrik-rubrik yang secara bergantian menjadi sasaran tulisanku raib.

Walaupun, fasilitasi kolaborasi telah demikian terbuka, tapi ternyata saya belum move on dari media massa cetak. Entah, saat tulisan itu bisa terbit, seakan-akan eksistensi diri langsung melambung, terlepas isi dompet selalu cekak. Tapi saat itulah, masa depan cerah kembali, setidaknya untuk satu atau dua minggu, karena otomatis dompet terisi lagi.

Kini, perkaranya bukan soal dompet, namun soal intelektualitas yang sepertinya mulai memudar. Kerja administrasi yang dijalani selama kurang lebih pada massa mengambang sebagai pekerja cendekia masih belum menyambut baik.

Memasuki awal tahun 2021, Alhamdulillah telah memiliki perlabuhan kampus yang mentereng, dengan segudang prestasi di dalamnya. Tapi akulturasi diri dengan atmosfer kampus baru tersebut belum terintegrasi, suara-suara idealis dari rekan hanya bersarang pada grup-grup WA, belum masuk pada sanubari. Padahal, sejatinya suara-suara itu yang bisa mendorong dan meluapkan tema kritis dalam setiap langkah berpikir. Tapi rupanya, masih berada dalam gapura penyambutan.

Tahun 2021 akhirnya menjadi tahun penuh apologi bahwa sedang beradaptasi dengan kampus teknokrat yang bisa mengerek dan mengangkat. Tapi apalah artinya aku, jika tak berkarya dan bergerak. Lagi-lagi studi doktoral juga menjadi alasan, untuk menutupi segala kekurangan dan kelemotanku dalam berpikir.

Tidak ada resolusi pada tahun 2022, selain bahwa saya harus menyelesaikan doktoralku. Dan jalan menulis harus lagi kutempuh dan mengawali awal baru. Mungkin sudah lupa caranya, karena selama tahun 2021, entah ada atau tidak bukti ketikan jari jempol semua pada menu ‘send’ pada emailku. Entah. Jika demikian, artinya, otakku tidak lagi dipakai untuk merefleksi kehidupan selama setahun lamanya. Astagfirullah.

Tulisan ini, tentu bukan keluh kesah, bukan resolusi, bukan juga umpatan-umpatan tak berguna terhadap diri yang selalu memiliki alasan untuk tidak berkarya, menjadi pemalas berpikir. Padahal, isu-isu selalu seksi untuk dibahas ditelanjangi dengan teori-teori yang seadanya. Tidak mewah, tapi tidak juga terlalu miskin. Cukuplah bagi seorang pembelajar.

Tulisan inipun tak ubahnya, bagian dari pembelajaran, kemanakah saya selama ini. Kini yang telah berubah menjadi Aku. Selalu memiliki banyak alasan untuk meng-Aku-kan. Sebagaimana halnya, generasi-generasi yang merasa pinter sendiri.

Tidak pula, refleksi pikiran itu saya tuangkan dalam bentuk blog yang kini bermetamorfosa menjadi dua, satu ceritanya untuk tulisant-tulisan teknis, satu lagi ceritanya untuk tulisan-tulisan sedikit nakal, nakal berpikir. Dan tulisan ini entah masuk kemana. Tidak satupun tulisan yang dihasilkan melalui blog. Jikapun ada, dalam bentuk catatan peristiwa karena ada agenda sosial. Itupun tidak atas namaku. Akupun tidak peduli. Karena bukan genre tulisan seperti itu yang dimaksud: opini, feature, ataupun essay bebas yang entah masuk genre essay atau tidak.

Baiklah, ini hanya tulisan pengingat bahwa ternyata, sumber kekuatan eksistensi diri, kepercayaan diri, cukup besar prosentasinya dari tulisan yang tersebar di media massa, yang bisa jadi nanti akan menjadi kenangan, karena tidak lagi ku lakukan. Bukupun, masih berkutat pada ‘sedang dan sedang’ walaupun bab-bab tersebut telah ada. Tapi tidak kunjung selesai.

Jadi, mari kita mulai lagi, dari nol lagi, belajar lagi, menulis refleksi. Apapun teorinya. Apapun temanya. Apapun tulisannya. Tapi walaupun apapun, tetap harus tampak bertenaga sekaligus renyah dibaca. Yuk! Mari menjadi seorang pembelajar. Yang tidak pernah angkuh untuk selalu melakukan refleksi terhadap dunia kehidupan ini yang mungkin sebenar lagi akan aku tinggalkan.***[]

Buku-buku Dr. Jalaludin Rakhmat/ Kang Jalal. 

Innalillahi Wainnailaihi Rojiun, Cendekiawan Muslim yang mendalami Tasauf sekaligus filsafat, juga menjadi peletak dasar Psikologi Komunikasi di Indonesia, Jalaludin Rakhmat meninggal dunia. Kabar ini mengagetkan, karena tiba-tiba seorang teman memposting kabar meninggalnya seorang sufi kota tersebut melalui media sosial yang sudah sejak lama jarang dibuka. Ternyata, di grup-grup WhatsApp juga beredar kabar meninggalnya berikut dengan link beritanya. Barulah saya yakin, jika pendiri sekolah Muthahari tersebut telah tiada.

Para pegiat kajian Islam termasuk mayoritas mahasiswa komunikasi tidak asing lagi dengan nama kang Jalal, walaupun belakangan santer dituduh sebagai tokoh Syiah di Indonesia, namun beliau sendiri, pada suatu kajian di Muthahari pernah berkelakar, oleh kalangan Sunni dianggap Syiah dan oleh Syiah tulen tidak diakui. Ingat kata-kata Ali Syariati, salah satu tokoh intelektual dalam revolusi Islam Iran, ia tidak diakui sebagai Syiah, tapi oleh kalangan Sunni sendiri ia memang dianggap Syiah.

Terlepas beliau adalah tokoh Syiah dan apakah ia juga masih Sunni, yang jelas, ilmunya telah diserap dan diamalkan oleh jutaan orang di Indonesia. Bukan hanya oleh jamaahnya dari IJABI, namun juga para sufi kota yang pada masa keemasannya, menjadikannya sebagai guru spiritual, juga lulusan-lulusan komunikasi yang melewati satu semester berkenalan dengannya melalui buku Psikologi Komunikasi yang melegenda.

Bagi aktivis kajian Islam, buku-bukunya sudah sejak lama menjadi rujukan untuk bahan diskusi dan kajian keislaman, Islam Aktual dan Islam Alternatif menjadi rujukan, belakangan juga menulis Islam dan Pluralisme. Kang Jalal adalah tokoh lintas madzhab yang mampu membuka jalan pikiran para peminat kajian Islam sehingga dengan percikan-percikan pemikirannya mampu menggoda untuk terus berpikir dan bergerak.

Saya sendiri pertama kali berkenalan dengan Kang Jalal melalui buku kecil namun cukup menggairahkan untuk dibaca dan diamalkan, saat mahasiswa, yaitu Rekayasa Sosial. Buku kumpulan tulisan sejak tahun 1980 ini mampu menyuntikkan semangat kemahasiswaan saya beberapa belas tahun yang lalu. Tentu, bukan hanya buku ini yang sampai saat ini masih tersimpan dan sudah beladus karena sering dibuka-buka untuk dibaca, juga buku yang cukup menyejukkan, karena kang Jalal telah bermetamorfosa dari seorang pemikir (filsuf) pada masanya menjadi seorang sufi, misalnya melalui buku Meraih Cinta Ilahi.

Karena peminatan yang cukup menarik dari pemikiran-pemikiran kang Jalal, saat mahasiswa pernah juga beberapa kali ikut kajian Ramadhan di Muthahari. Dan memang pikiran-pikirannya yang nakal mampu meningkatkan gairah membaca dan mengkaji. Walaupun tidak pernah ikut pengajiannya di Mesjid Al-Munawarah. Ketertarikan terhadap kajian filsafat dan pemikiran Islam, mengantarkan saya bertemu beberapa kali dengan beliau di kampus. Setiap kali Ia menyampaikan pemikirannya, selalu ada yang baru. Dan mungkin inilah yang membuat jamaah kajiannya selalu tertarik dengan dengan kehadirannya. Selain gaya penyampainnya dengan metode bercerita.

Beruntung, pada saat studi lanjut di Pascasarjana Ilmu Komunikasi Unpad, pernah beberapa kali bertatap muka dalam satu mata kuliah. Walaupun hanya 3 kali bertemu, karena Kang Jalal saat itu menjadi bagian dari tim teaching, tapi hampir semua mahasiswa terkesan dengan keluasan wawasannya dalam menyampaikan materi. Saat seminar, narasumber diskusi, ataupun mengisi perkuliah sama menariknya.

Sebelum beliau terjun ke dunia politik, saya masih mengikuti cerita-cerita baru melalui buku-buku yang selalu memberikan kejutan. Walaupun buku-bukunya, bisa dibilang lintas kajian. Sosial, Filsafat, komunikasi, pemikiran Islam. Psikologi Komunikasi, Metode Penelitian, Meraih Cinta Ilahi, Islam Aktual, Islam Alternatif, Meraih Kebahagiaan, ESQ for Kids, Kata pengantar Kang Jalal juga sering mewarnai buku-buku pemikiran atau psikologi, seperti dalam buku-buku terjemahan Ali Syariati dan atau juga misalnya dalam buku ESQ-nya Danah Zohar dan Ian Marshal yang menganggap bahwa Spiritualitas itu bersifat materialistik. Kang Jalal memberikan pengantarnya tentang aliran-aliran psiklogi yang ditutup dengan aliran transpersonal.

Setelah beliau terjun ke politik, memang menutupi perhatian saya terhadap karya-karya barunya. Atau memang saya sudah tidak tertarik dengan kajian-kajiannya kang Jalal? Entahlah. Misalnya dalam kumpulan kata pengantar yang menurut saya sangat menarik, yaitu Afkar Penghantar. Saat itu saya ingin sekali memiliki buku itu, dari judulnya sudah begitu seksi, apalagi kata-kata penghantar tersebut berasal dari beragam penghantar buku-buku yang beragam. Dan tidak berhenti sampai di situ, masih ada banyak karya kang Jalal yang tidak saya ketahui. Terlepas dari itu, sosok kang Jalal memiliki pengaruh kuat terhadap cara penikmat kajian berpikir, melalui buku-bukunya, termasuk saya.

Pengalaman Berharga saat Diberhentikan Kultum

Pada suatu Jumat entah di tahun berapa, saya diminta untuk mengisi Kultum. Terus terang, saya bukan tipe agamis yang mau berbagi pengalaman atau wawasan keagamaan. Karena tidak pede dengan cara berpikir saya yang memang tidak religius, bahkan mungkin cenderung liberal atau cenderung abu-abu. Namun, apa boleh kata, karena diminta dan telah terjadwal akhirnya saya mengisi kultum juga. Pada kesempatan yang lain, saat melakukan review buku, memang cukup berhasil. Tapi kali ini justeru diminta berhenti.

Kenapa kok diberhentikan?

Ceritanya, karena saya adalah lulusan komunikasi, maka saat kultum saya pun ingin mengupas ayat-ayat komunikasi. Saya pun menyampaikan beberapa ayat komunikasi yang tafsirnya saya dapatkan dari tulisan kang Jalal melalui buku lain, karena saat itu cukup kesulitan mencari buku Islam Aktual dan Islam alternatif yang di dalamnya ada tafsir ayat-ayat komunikasi.

Saat saya menyebutkan tentang kutipan ayat tersebut dari Jalaludin Rakhmat seorang tokoh ilmu komunikasi, tiba-tiba saya diminta berhenti.

“Cukup. Cukup, cukup..., udah cukup”, kata tersebut walaupun sudah terjadi beberapa tahun yang lalu, masih saja terngiang. Karena bagi saya, saya baru bertemu secara langsung berhadapan, yang menurut saya waktu itu berpikiran sempit.  Sampai akhirnya, saya baru sadar saat dia berkata lagi,” Jalaludin Rakhmat itu adalah salah satu orang yang haram hukumnya disebutkan di Mesjid,” ujarnya menggebu-gebu.

Saya, yang setidaknya, beberapa buku-buku kajian Islam pernah saya baca sangat kaget dan malu, di hadapan Jamaah, dianggap saya telah menyebut orang yang haram. Hanya saja, waktu itu saya tidak habis pikir, kenapa bisa, cendekiawan sekelas Kang Jalal, dianggap haram. Walaupun kemudian saya tahu, ini tidak lebih dari konflik aliran antara Sunni-Syiah yang telah mendarah daging. Dan kang Jalal dengan Ijabi-nya, dianggap sebagai tokoh Syiah.

Padahal, saat itu, sedikitpun tidak terbersit bahwa Kang Jalal itu Syiah. Yang saya pahami, bahwa beliau adalah seorang ilmuwan komunikasi dan cendekiawan muslim. Saya mengutip karena dia adalah seorang ilmuwan, bukan seorang ideolog Syiah.

Bisa jadi saya yang tidak tahu tempat, sok pinter, dan sok mengutip tokoh. Tapi itulah ciri-ciri yang fakir ilmu, mengutip agar tidak salah, daripada menafsir sendiri. Ya, intinya saya fakir ilmu, dan orang yang memberhentikan kultum saya, terlalu luas ilmunya, sehingga sudah tahu bahwa seseorang itu haram disebutkan di mesjid. Okelah saya mengalah dan akhirnya berhenti, tidak baik juga berdebat tentang sesuatu yang tidak saya ketahui duduk persoalannya.

Barulah setelah selesai pengajian, tiba-tiba seorang teman bertanya, Pak Dudi Syiah? Gubrag! Apalagi ini? Beribadah dengan tradisi dan selalu ikut tahlilan juga shalawatan ketika ada tetangga yang meninggal atau tasyakuran, berteman dengan banyak teman dari Persis, saya dituduh syiah hanya gegara mengutip ayat-ayat komunikasi yang ditafsirkan Kang Jalal. Ikut Kajian juga hanya sekali-kalinya saat ramadhan, saat saya sedang bersemangatnya dunia kajian, ikut kelas formal di kelas hanya 3 kali saat pascasarjana. 

Baru dari sini saya sadar, bahwa pluralitas lingkungan saya sebelumnya tidak bisa dibawa sebagaimana hal yang normal saat masuk lingkungan baru. Cara saya berpikir tentang sesuatu belum tentu dianggap baik, walaupun di tempat saya bergaul sesuatu yang biasa-biasa. Maka, sampai di sini, Kang Jalal bukan hanya telah mengajarkan tentang Dahulukan Akhlak di Atas Fiqh sebagaimana halnya buku yang ia tulis, tapi juga mengajarkan bagaimana agar kita berhati-hati mengutip, meskipun kutipan tersebut lumrah dan wajar karena bersifat akademik.

Bagaimana jadinya saat saya menulis jurnal penelitian saya mengutip buku Metode Penelitian Komunikasi yang kini telah diperbaharui bersama penulis Akademisi dan peneliti Idi Subandi Ibrahim, juga buku Psikologi Komunikasi yang telah ditambahkan 2 bab terakhir tentang psikologi media internet, atau mengutip buku yang diterjemahkannya yaitu Komunikasi Antar Budaya, atu saat saya menulis thesis juga mengutip dari buku Psikologi Agama dan Retorika Modern yang dikarang Kang Jalal. Lalu dengan 4 kutipan beruntun dari buku-buku akademis tersebut, lalu saya dianggap Syiah?

Dus, kini Ustadz Jalal, Kang Jalal,  Jalaludin Rakhmat telah tiada. Kita berdoa semoga beliau mendapatkan syafaat dari Rosulullah Muhammad Solallahu Alaihi Wasallam. Dan semoga ilmu yang telah beliau tulis melalui puluhan buku-bukunya mengalir menjadi amal sholeh. Allohummagfirlahu warhamhu waafihi wafuanhu. ***[]

sumber gambar: TurnitIn

Awal tahun 2020, seorang kolega, calon guru besar mendapatkan surat pencabutan terhadap karyanya yang diterbitkan jurnal berreputasi nasional, Sinta 2. Hal ini, karena terdeteksi sang calon profesor tersebut melakukan publikasi ganda. Dalam dunia akademik, publikasi ganda ini disebut dengan autoplagiarism atau self plagiarism. Suatu bentuk plagiat yang dilakukan oleh diri sendiri.

Saya tidak ingin menperdebatkan tentang definisi plagiasi atau istilah plagiasi yang dilakukan oleh diri sendiri. Namun yang jelas, publikasi ganda tersebut akan mencoreng nama baik penulis di mata publisher. Wacana yang dimunculkan para publisher, khusus pengelola jurnal salah satu asosiasi, bahwa jika seorang penulis kedapatan melakukan hal tersebut, maka akan diblacklist. Mengerikan sekaligus membuat mandesu.

Belakangan, seorang Rektor terpilih yang belum dilantik salah satu perguruan tinggi di Indonesia, mengalami nasib serupa, ia dianggap melakukan autoplagiarism. Jelasnya, autoplagiarism yang dituduhkan oleh kampus pada Rektor terpilih tersebut merupakan double publikasi. Satu tulisan akan tetapi dipublikasikan pada dua media yang berbeda.

Peristiwa ini menjadi pukulan telak bagi dunia akademik, apalagi yang terkena masalah adalah seorang Rektor terpilih pada perguruan tinggi ternama. Terlepas soal prestise akademik baik jabatan struktural atau jabatan fungsional yang telah diraih oleh aktor tersebut. Saya memiliki catatan secara umum, tidak hanya merujuk pada dua kasus tersebut di atas yang mencoreng personal dan sekaligus akademik.

Pertama, pada tulisan tentang Dosen sebagai Cendekiawan, seharusnya seorang yang berprofesi dosen selalu resah dengan keadaan sekitarnya. Keresahan tersebut karena faktor internalisasi kepekaan yang mendalam pada peristiwa-peristiwa etis dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat dan bangsanya. Hal yang pertama yang menjadi masalah adalah karena ketidakpekaan seorang dosen tersebut terhadap isu-isu sehari-hari. Sesuai dengan latar belakang keilmuannya.

Saya melihat jika seorang dosen peka terhadap isu-isu kemasyarakat ataupun kebangsaan, akan begitu banyak ide yang dapat menjadi bahan riset sehingga untuk mengirimkan hasil riset/ tulisan ke publisher. Bukankah dosen per setiap 6 bulan sekali harus memiliki draft penelitian yang siap dipublikasikan atau telah dipublikasikan?

Kedua, dosen tidak fokus pada tugas profesionalismenya. Ini juga jelas bahwa dosen memiliki kewajiban penelitian, plus publikasi. Atau hasil penelitian yang dipublikasikan. Jika saja setiap dosen per semesternya memiliki draft yang siap dikirim ke publisher, bukankah tidak perlu mengirimkan satu artikel ke beberapa publisher?

Ketiga, dengan latar belakang tersebut, artinya dosen tidak paham tentang dunia penerbitan jurnal juga terkait dengan aturan-aturan yang ada di dalamnya. Pada saat saya menulis artikel opini untuk dikirimkan ke media massa. Saya tidak berani mengirimkan satu artikel yang sama ke dua media yang berbeda. Karena jika kedua-duanya terbit dengan tulisan yang sama, ini menjadi malapetaka bagi penulis tersebut. Karena jika diketahui, penulis tersebut akan diblacklist sebagai penulis rubrik opini media massa tersebut. Oleh karena itu, saya tidak pernah mengirimkan satu tulisan yang sama ke media yang berbeda.

Keempat, dari semua yang dijelaskan, jelas bahwa ini soal kemiskinan karya yang dihasilkan oleh seorang dosen. Betapapun kesibukkan yang dialami oleh dosen, tapi idealnya atau seharusnya seorang dosen tidak boleh melupakan tugas utamanya tridarma perguruan tinggi; pengajaran, pengabdian, penelisian plus publikasi.

Pada masa lalu, hal yang lumrah jika dosen tiba-tiba tidak masuk kelas tanpa alasan yang jelas, membatalkan perkuliahan dengan cara mendadak. Hari ini dosen dituntut profesional karena pada dasarnya pengajaran merupakan kewajiban  yang menjadi hak mahasiswa. Hal tersebut kini tidak diharapkan, karena yang menjadi ladang amal dosen adalah mahasiswa. Saat kita menghindar dari kewajiban, kita tidak memenuhi hak-hak mahasiswa. Setelah bidang pengajaran selesai, dihadapkan pada persoalan baru, yaitu kepekaan terhadap isu kemasyarakatan dan kebangsaan yang harus mewujud menjadi karya nyata – pengabdian atau penelitian.

Oleh karena itu, menjadi penting peka terhadap isu-isu kekinian di sekitar masyarakat kita, bangsa kita, atau sesuai dengan keilmuan kita yang spesifik agar ide-ide terus bermunculan, sehingga kita tidak kekurangan ide untuk menuliskan karya kita; menjadi pengabdian, penelitian, ataupun publikasi.  Karena hal-hal teknis terkait dengan publishernya dapat dicari dan banyak sekali trik dan teknik agar bisa melakukan publikasi.

Namun ide, gagasan, atau kepekaan cenderung sulit datang tiba-tiba keculi diasah terlebih dahulu. Oleh karena itu, jika pembaca ada yang berniat atau tertarik menjalani profesi sebagai dosen, akan lebih mudah jalannya, jika kepekaan terhadap isu-isu sosial dan kebangsaan yang mengarah pada jati diri cendekiawan terbangun terlebih dahulu. Sehingga karya itu akan dengan sendirinya lahir dari keresahan kita sebagai cendekiawan sekaligus yang berprofesi sebagai dosen.

Catatan ini lebih untuk mengingatkan diri sendiri. Tidak untuk menggurui apalagi terhadap dosen saya sendiri, tentu tidak etis rasanya. Mungkin pengingat terhadap generasi yang sekarang atau akan datang. Jangan sampai karena kita tidak pernah peka, lalu miskin karya, dan akhirnya kita ulangi lagi-ulangi lagi, daur ulang lagi tulisan/ publikasi lama seakan-akan baru. Jangan sampai kita menyesal kemudian. Semoga bermanfaat. ***[]

 

sumber gambar: iqrodotocom

Seorang teman, bercerita jika teman kami pada masa kecil, kini lebih religius dan bertambah dewasa dari segi sikap dan perilaku. Dari segi agama, tampak bahwa semakin mencari kedalaman-kedalaman spritual dengan mencari guru-guru hikmah yang bisa memberikan insight keberagamaan bagi dirinya.

Betul saja, apa yang diceritakan oleh teman saya, teman kami tersebut memang tampak mendalami agama dengan beberapa kali membagikan tautan tentang kegiatan agama bercorak tasawuf. Yaitu suatu jalan mendekati Tuhan dengan menyerahkan dirinya untuk beribadah kepada Tuhan. Dengan kata lain, orang yang menjalankan tasawuf tidak lagi tertarik dengan hal-hal duniawi.

Bagaimana dengan teman saya? Tentu saja tidak atau belum terjun ke tasawuf, tapi ketertarikannya terhadap agama begitu tinggi, hingga mencari-cari majelis ta’lim yang sesuai dengan karakteristiknya, yaitu mencari guru tapi yang tidak menggurui.

Suatu hari bertemu, sambil mengenang masa kecil, kami bercerita ngaler ngidul layaknya teman lama. Dan tibalah pada cerita yang lebih dalam dan dewasa. Karena faktanya kami bukan lagi remaja. Kami pun memikirkan masa depan, termasuk juga akhirat sebagai tempat persinggahan terakhir kelak.

Salah satu yang diceritakan oleh teman kami tersebut, bahwa pada dasarnya agama telah menjadi sumber malapekata. Salah satunya, konflik-konflik yang terjadi disebabkan oleh agama. Di Suriah atau Timur Tengah lainnya. Bahkan kalo kita kembali ke abad pertengahan, agama juga menjadi sumber kegelapan ilmu pengetahuan sebelum akhirnya muncul renaissans. Bahkan, atas nama agama, terjadi perampokan besar-besaran dengan memindahkan sumber ilmu di Baghdad ke Eropa.

Sama halnya dengan Indonesia, agama seringkali menjadi sumber konflik; antara Islam dan Kristen, antara aliran dalam Islam; Sunny-Syiah, atau Sunny-Ahmadiyah. 

Hingga akhirnya dia menyimpulkan, karena agama menjadi sumber malapetaka, maka beginilah cara beragama yang dianutnya, memiliki jalan Sufi atau lebih tepatnya, bahasa  jalan sepi, hanya untuk diri sendiri. Beragama dengan versinya sendiri, yaitu mencari ketenangan, kedamaian, dan ketentraman jiwa.

Dia berargumen, karena itulah yang dilakukan oleh orang-orang yang beragama. Bukankah beragama itu harus mendatangkan ketentraman? Bukankah saat orang beragama itu harus mendatangkan kedamaian terhadap diri sendiri?

Pada kesimpulan ini, saya tidak setuju. Karena beragama bukan hanya untuk diri pribadi. Namun juga ada hak orang lain atas keberagamaan kita.

Seperti apa contohnya? Ya, kita seringkali mendengar istilah habluminallah habluminannas dan habluminalalam. Saya tidak akan bicara tentang ayat al-Qur’an, tapi lebih pada fakta keberagamaan kita sehari-hari.

Apakah saat kita beragama kita mencari ketenangan? Tidak! Apakah saat kita beragama untuk mencari kedamaian? Saya kira bukan juga. Ataukah cara kita beragama untuk menghindari konflik? Bukan! Mencari ketenteraman? Oh tentu saja No! lalu apa?

Itu semua adalah dampak dari kita beragama. Karena kita dekat dengan Tuhan, kita percaya sekaligus yakin bahwa Tuhanlah yang menjaga, membimbing, memelihara, serta mengarahkan. Saat kita fokus pada tujuan kita hidup dengan tuntutan agama, maka ketenangan, ketentraman, kedamaian akan kita dapat. Tapi bukan tujuan itu sendiri.

Saat kita beragama dengan tujuan untuk ketentraman, kedamaian, ketenangan hati sementara aspek lain tidak tersentuh, maka bagi saya itu hanya cara beragama kita yang terlalu egois.

Sama halnya keegoisan teman-teman kita yang memiliki kelebihan harta lalu dengan bebas bisa umroh belasan kali, bisa naik haji berkali-kali. Bukankah dalam harta yang dibelanjakan untuk ongkos tersebut punya hak orang lain agar bisa menunaikan ibadah tersebut?

Saya teringat dengan satu masa The Dark of Sufism, saat para saleh, hanya mementingkan ibadah kepada Tuhan. Sementara keadaan masyarakatnya tidak diperhatikan. Beragama macam apa ini, bukankah bentuk beragama  yang egois, beragama hanya untuk kepentingan diri kita sendiri.

Pertanyaan diplomatisnya, bukankah saat kita syahadat kita tidak hanya bersyahadat kepada Tuhan, tapi juga nabi sebagai bentuk horizontal dalam beragama. Bukankah saat kita sholat selain cara kita bertemu dengan Tuhan, diakhiri dengan salam, karena keselamatan itu harus juga selamat bagi manusia lainnya? Bukankah Zakat selain untuk menyucikan jiwa, juga untuk membantu saudara kita yang kekurangan? Bukankah saat puasa ada pesan agar kita merasakan bagaimana penderitaan orang-orang yang kekurangan makan? Bukankah saat kita berhaji juga ada pesan bagaimana bergaul dengan manusia lain yang berbeda budaya, pemikiran, cara berpakaian, dengan beragam pangkat dan jabatan, bahwa hal itu tidak berarti apa-apa di hadapan Tuhan?

Oleh karena itu, beragama, bukan hanya untuk diri sendiri, namun juga punya nilai ekstrinsik, sehingga harus selalu melihat ke luar. Beragama memang persoalan individu, namun jika kita tengok di Indonesia, beragama diatur oleh negara, artinya bahwa ada keterlibatan yang tidak terpisah dengan orang lain sehingga perlu melibatkan aturan negara.

Tulisan ini, hanya catatan kecil dalam kehidupan kita sehari-hari, karena pemahaman agama kita yang kecil sehingga seringkali kita mengklaim cara beragama kita yang benar. Sehingga bisa menjadi pembelajaran bahwa agama itu tidak sempit. Kita perlu belajar lagi agar kehadiran kita dalam beragama dirasakan manfaatnya bagi orang lain, bukan menjadi sumber konflik atau malapetaka, sehingga agama terrealisasi menjadi rahmatalilalamin. Amin. ***[]

 

Ilustransi Pluralisme, sumber gambar: justisiadotcom, dudi.my.id

Menteri Agama yang baru dilantik, membuat pernyataan yang mengundang penafsiran para pemerhati agama. Bahwa Dia ingin mengafirmasi eksistensi Syiah dan Ahmadiyah. Walaupun belakangan, bukan pada kejamaahannya tapi pada kemanusiaannya sebagai warga negara. Bahkan, pada beberapa narasi berita, muncul pernyataan bahwa Dia menteri bagi agama-agama, tidak hanya satu agama, yang mungkin selama ini terkesani, bahwa menteri agama itu hadir hanya untuk agamanya sendiri, Islam. Ini menjadi isu dalam wacaran toleransi dan pluralisme.

Tentu, saya tidak mempermasalahkan bentuk afirmasi yang pertama atau pernyataan yang kedua, tentang perlunya afirmasi bagi kelompok Syiah ataupun Ahmadiyah. Atau pernyataan kedua bahwa menteri bagi semua agama, karena itu sudah seharusnya.

Yang ingin saya soroti dalam tulisan ini adalah bentuk afirmasi toleransi tetapi sesungguhnya intoleransi.

Narasi ini tidak ditujukan kepada menteri agama – saja, tapi untuk semua aktivis Islam yang selama ini begitu getol mengkampanyekan demokrasi dan pluralisme. Misalnya, yang menjadi program dari Islam Liberal yang mungkin hari ini secara lembaga telah ‘tiada’ atau tidak lagi memiliki program yang secara agressif mengkampanyekan lagi demokrasi dalam konteks atau bingkai pluralisme agama.

Pernah, pada suatu kuliah umum tentang Pancasila, Profesor Musdah Mulia, begitu bersemangat menjelaskan tentang pentingnya toleransi yang menjadi salah satu kata kunci dalam membumikan Pancasila. Namun sayang, semangat toleransinya dicoreng oleh narasi tentang perlunya memberantasi radikalisme yang dilakukan oleh salah satu ormas Islam di Indonesia. Sehingga, bagi saya, terjadi kontradiksi dalam konsep toleransi yang  yang menjadi kata kunci pluralisme tersebut.

Kecacatan Logika; Intoleransi dalam Toleransi

Semangat toleransi, harus terejawantahkan dalam pola dan bentuk diterimanya perbedaan; baik dalam cara berpikir ataupun bertindak. Kemenerimaan ini bagi saya tanpa syarat. Sehingga setiap perbedaan-perbedaan itu harus terakomodasi dengan baik tanpa harus mendikotomikan atau menghilangkan eksistensi satu sama lain. Karena makna berbeda sendiri tidak menerima syarat apapun. Keberagaman itu meniscayakan perbedaan.

Namun, pada praktiknya, golongan yang sering kali dicap liberal tersebut, ternyata hanya berpindah posisi saja. Karena pada praktiknya, secara logika, mereka tidak mampu menerima perbedaan dalam berpikir dan bersikap. Buktinya, mereka seakan benci terhadap ormas-ormas yang berbeda tersebut; misalnya saja, mengapa mereka mempermasalahkan keberadaan FPI atau mengapa mereka justeru ingin membubarkan ormas yang tidak sejalan dengan pemikiran mereka?

Apakah ini logika toleransi? justeru dengan berpikir dan bersikap ingin ‘membumihanguskan’ kelompok yang berbeda dengan cara berpikir liberalismenya, telah terjadi kekacauan logikanya sendiri, yang tidak bisa saya pahami. Mereka tidak bisa menerima perbedaan yang diusung oleh kelompok-kelompok yang oleh dirinya sendiri disebut sebagai radikal dan pundamentalis.

Bagi saya, ini bentuk kekacauan atau justeru kecacatan logika para pemikir liberal, yang pada satu sisi ingin menerima perbedaan kelompok-kelompok yang dianggap minoritas, sementara di sisi lain, kelompok-kelompok berbada yang selalu vokal dan eksis dalam bersosial masyarakat justeru ingin didelet dari aktivitas hukum di Indonesia, seperti yang terjadi pada HTI.

Tentu saja, saya tidak sedang membela HTI ataupun FPI yang selama ini berseberangan dalam cara berpikir ataupun bertindak dengan kelompok liberal tersebut. Tapi justeru saya ingin mengajak berdiskusi tentang makna tentang pluralisme atau setidaknya pada batas pluralitas.

Jika saja, pikiran kita tidak bisa menerima perbedaan karena seringkali kaum liberal sering menjadi sasaran tembak kelompok radikal dan pundamental tersebut, maka esensi toleransi yang selama ini menjadi ‘barang dagangan intelektual’ mereka sesungguhnya nihil. Tidak memiliki nilai sama sekali. Justeru terlihat kekacauan cara berpikir mereka. Mereka telah mencederai esensi toleransi sendiri menjadi bentuk intoleransi.

Kehadiran menteri agama baru, Gus Yaqut, yang menjadi menteri bagi semua agama, bukan hanya bertindak keluar sebagai muslim yang melindungi semua agama tanpa perbedaan. Tapi juga melindungi anggota ormas beragama, yang selama ini tercerabut haknya untuk bersuara, berkumpul, dan berpendapat. Dan saya pikir itu akan sangat bijak.

Begitu juga dengan para intelektual muslim yang selama ini menjadi corong pluralisme agama harus mampu merangkul saudaranya sendiri yang selama ini berbeda cara berpikirnya, untuk sedikit memberikan peluang kepada mereka agar bisa berdialong tentang perbedaan-perbedaan tersebut. Sehingga mereka yang mengaku sebagai muslim moderat, bisa semoderat juga terhadap mereka yang dianggap olehnya sebagai Islam Radikal atau Pundamental. Agar moderasi ke-Islamannya sah dan tidak tercoreng oleh kecacatan cara berpikirnya sendiri.

Tulisan sejenis pernah saya tulis tentang intoleransi beragama dalam personal blog Abah Raka.

Semoga.

Saat memilih profesi menjadi dosen, sekaligus harus siap menjadi seorang intelektual. 

Sama hal seperti profesi lain, misalnya seorang bidan atau dokter, yang harus mendedikasikan diri pada bidang kesehatan, menjadi tulang punggung masyarakat saat membutuhkan bantuan. Dokter atau bidan harus siap 24 jam jika betul-betul dalam keadaan darurat.

Bagaimana pengorbanan dokter saat pandemi, mereka rela meregang nyawa demi menyelamatkan anak bangsa dari rongrongan corona virus. Berapa puluh atau ratus dokter yang meninggal akibat terkena dampak virus corona di Indonesia. Perjuangan mereka betul-betul sangat maksimal dan tidak bisa diganti dengan tunjangan apapun.

Bidan, mereka harus siap siaga saat masyarakat membutuhkan bantuan kelahiran. Tanpa pandang bulu siapa yang akan melahirkan, miskin atau kaya. Mereka terikat oleh sumpah profesi mereka sebagai dokter atau bidang, suatu profesi yang mulia. Menjadi penyambung hidup masyarakat luas. 

Begitu juga dengan wartawan/ jurnalis. Mereka terikat sumpah kode etik jurnalistik untuk memperjuangkan kebenaran, walaupun nyawa taruhannya. Berapa puluh wartawan yang gugur karena persekusi karena memperjuangkan kebenaran. 

Serupa, walaupun tidak sama, profesi dosen. Profesi utama memberikan pencerahan kepada masyarakat baik berupa transfer ilmu pengetahuan, pembentukan karakter masyarakat, riset, ataupun pengadian termasuk memberikan pencerahan hasil dari itu semua berupa publikasi.

Sebagai seorang yang memiliki kapasitas intelektual karena pendidikan serta keluasan wawasannya, aktivitas dosen tidak hanya menjadi produsen ilmu, tidak hanya menerapkan ilmunya kepada masyarakat dengan melakukan pengabdian. Ia juga harus mampu membuka mata masyarakat agar bisa bersikap kritis terhadap hidupnya. Ia harus mampu membawa masyarakat ke jalan yang terang untuk mencapai cita-citanya.

Sebagai seorang cendekiawan atau intelektual, dosen harus selalu memiliki sikap selalu resah denga keadaan bangsanya. Dosen harus mampu menyikapi secara kritis dengan persoalan-persoalan kemasyarakatan di sekitarnya. 

Oleh karena itu, tugas dosen tidak cukup tridarma, tapi juga persoalan substansial yang dihadapi oleh bangsa ini. Keluar dari persoalan-persoalan bangsa. Memang cukup berat, karena tidak semua dosen memiliki kapasitas ini. Tapi jika  boleh kembali ke titik awal sebelum menjadi dosen, seharusnya kapasitas ini terpenuhi terlebih dahulu oleh calon dosen.

Lalu bagaimana faktanya?

Nah inilah yang menjadi persoalan. Jangankan kritis terhadap persoalan-persoalan kemasyarakatan, termasuk saya sendiri, justeru terkungkung oleh persoalan-persoalan pragmatis kehidupan sehari-hari. Jauh-jauh, menyampaikan sikap kritis terhadap persoalan yang dihadapi oleh bangsa, menyampaikan secara terstruktur dan sistematis saja pemikiran kritis tidak mampu. Ini tentu menjadi persoalan tersendiri dan serius. 

Maka tidak heran, jika pada akhirnya menjadi dosen tidak jauh berbeda dengan sebuah pekerjaan yang hanya untuk mengejar dan memenuhi kebutuhan hidup belaka. Walaupun bukan sesuatu hal yang harus dipermasalahkan, karena dosen juga memiliki kehidupannya sendiri. 

Saya tergerak dengan kehidupan para cendekiawan yang konsentrasi terhadap perjuangan anak bangsa hingga keluar dari persoalan kebangsaannya sendiri. Bagaimana jadinya seorang Soekarno jika hanya mementingkan hidupnya sendiri, bagaimana jika Hatta  hanya memikirkan ekonomi pribadinya saja, apa jadinya bangsa ini jika sekelas Tan Malaka hanya mengejar prestise pemikiran hanya untuk gaya-gayaan. 

Mereka adalah kaum cendekiawan yang mampu membawa bangsa dari kemelut, mereka adalah intelektual sejati yang tidak memikirkan lagi dirinya sendiri. Mementingkan kehidupan berbangsa dan bernegara di atas kepentingan dirinya sendiri.

Tentu saja, jauh panggang dari Api antara saya dengan mereka. Tidak dapat dibandingkan sedikitpun. Namun, sebagai sebuah catatan, ingin mengingatkan terhadap diri sendiri, bahwa ada tugas-tugas di luar tridarma yang menunggu agar tetap berpegang pada nilai intelektualitas, bukan hanya administratif kedosenan. Karena sejatinya dosen adalah seorang intelektual yang harus selalu resah menyaksikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh bangsanya sendiri.

Jabatan akademik menjadi salah satu penilaian dalam mengejar nilai perguruan tinggi atau satuan terkecilnya yaitu program studi. Salah satu jabatan akademik adalah profesor. Bahkan profesor menjadi syarat agar suatu program studi dapat dilegalisasi, misalnya untuk pendirian jejang studi Strata 3 (S3).

Pada sisi lain, secara individual, gelar akademik tersebut sebagai suatu pencapaian prestisius seseorang dalam karir akademiknya. Ia merupakan jabatan tertinggi yang diraih seorang dosen. Selain prestisius, berdasarkan beberapa informasi yang didapat, tunjangan akademik profesor cukup tinggi jika dibandingkan dengan gelar jabatan misalnya lektor atau lektor kepala.

Dengan segala kelebihan yang prestisius tersebut, tidak sedikit, dosen yang telah memenuhi kualifikasi pendidikan doktor ingin mengejar jabatan akademik tersebut.

Lalu apa masalahnya? Sebetulnya tidak ada, justeru Indonesia sendiri sangat kekurangan guru besar. Indonesia sangat kekurangan guru besar dalam berbagai bidang studi. Sehingga justeru ketidakhadiran guru besar tersebut menjadi masalah bagi Indonesia.

Namun, justeru muncul masalah baru, karena dari masalah tersebut, terjadi salah kaprah dalam mengejar jabatan tersebut. Misalnya guru besar dikejar karena hanya ingin mengejar prestisius dan tunjangan jabatan, bukan karena kapasitas kecendekiaannya sebagai ilmuwan.  

Saya pernah menulis catatan kecil tentang Menjadi Doktor tanpa Karya dalam personal blog @abahraka. Catatan ini sebetulnya sebagai bentuk keprihatinan, bahwa saat orang-orang mengejar doktor bukan lagi pada persoalan bagaimana meningkatkan kapasitas intelektualitasnya sebagai dosen dan menaikkan kelas menjadi cendekiawan. Namun lebih pada bagaimana mengejar gengsi doktor dan gelar belaka. 

Saya melihat bahwa doktor itu bukan prestisius pada gelarnya, tapi pada produktivitas berkarya sesuai dengan peningkatan kapasitas intelektualnya. Seorang intelektual tidak berhenti pada memikirkan dirinya saja, tapi bagaimana memikirkan sesuatu yang lebih besar lagi, bangsa ini!

Namun pada kenyataannya, mungkin tidak sedikit, bahwa doktor tidak lebih dari sekedar gelar mentereng belaka tanpa diikuti oleh bentuk kepedulian terhadap persoalan-persoalan kebangsaan yang ada di Indonesia. Padahal seperti pernah saya tulis dalam catatan tersebut, mengutip pesan dari Ali Syariati, seorang intelektual Islam dari Iran, mengatakan: 

“Seorang intelektual tercerahkan adalah ia dengan tangan yang sama menuliskan ayat-ayat suci dari langit serta terbenam dalam genangan lumpur dan mengayunkan kayu untuk menyuburkan tanah yang kering, ia berdiri tegak memperjuangkan ayat-ayat Allah dan hak-hak masyarakat”.

Itu satu hal, tentang doktor. Terjadinya peningkatan kapasitas harus diimbangi oleh bentuk dan orientasi masa depan kedoktorannya terhadap persoalan kebangsaan. Salah satu ukuran konkretnya adalah dengan karya-karya nyata intelektual baik berupa konsep ataupun praktis penerapannya di masyarakat.

Lalu bagaimana dengan profesor? 

Profesor bukan Gelar Akademik tapi Jabatan Akademik

Profesor berbeda dengan doktor, jika doktor adalah gelar akademik yang diperoleh dengan sekolahan, dimana saat seseorang telah menyelesaikan jenjang studi S3, maka secara otomatis akan menyandang gelar tersebut. Namun, profesor tidak dengan menempuh studi, tapi bagaimana dedikasi penuh tanggung jawab terhadap ilmunya sehingga menghasilkan karya nyata untuk dunia akademik ataupun masyarakat. Sehingga bukan suatu paksaan dan dipaksakan untuk mendapatkan gelar tersebut sebagaimana halnya jabatan politik. Tapi karena konsentrasi dan keilmuannya yang diakui oleh panggung akademik dalam karirnya sebagai dosen.

Menarik untuk diceritakan, awal-awal masa pandemi, terlibat obrolan dalam proses pengajuan guru besar salah satu perguruan tinggi. Saya melihat secara kapasitas personal memang telah sangat layak. Baik pengabdian, karya, kualitas, serta pengimbangan mental. Dengan kapasitas yang dimiliki, saya yakin jika mereka memang layak mendapat gelar paling tinggi sebagai dosen, yaitu guru besar.

Namun, di luar itu semua, beberapa yang telah keluar kepangkatannya, justeru terlalu dipaksakan. Karena berkarya bukan berangkat dari keresahan dan kepedulian terhadap masyarakat, justeru berkarya untuk mengejar gelar. Bagi saya, ini sangat meresahkan, karena bukan berangkat dari core value sebagai seorang intelektual. Namun, kebutuhan pragmatis mendapatkan gelar tersebut.

Cukup memprihatinkan, saat seseorang yang telah merasa nyaman dengan gelar doktornya tiba-tiba merasa iri karena temannya menjadi profesor, dan ia merasa juga mampu, dan meminta kolega-koleganya untuk membentuk tim dalam penyusunan karya ilmiahnya. 

Saya merasa, gelar prestisius yang didapatkan oleh orang-orang yang memiliki kapasitas intelektual tersebut sedang diturunkan derajatnya secara drastis. Bukan karena tidak boleh menjadi profesor, Tapi lebih karena guru besar oleh para pragmatis ini dianggap bisa dicapai dengan hal-hal teknis dan pragmatis. 

Jika demikian, maka wajar jika pada akhirnya, nanti para guru besar bukan orang-orang yang selalu berfikir besar, tapi berfikir pendek dan kerdil sebagaimana halnya ia melakukan hal-hal pragmatis dalam mendapatkan gelar tersebut.

Wajar jika banyak guru besar yang tidak lagi besar pikirannya, bijak melangkahnya, karena gelar tersebut didapatkan dengan cara-cara instan demi prestise dan tunjangan.

Artinya, jika merasa tidak cukup konsentrasi terhadap kecendekiaan dan intelektualitas, harusnya cukup tau diri. Toh dengan gelar doktor juga sudah lebih dari cukup, apalagi gelar doktornya tersebut tidak digunakan untuk berkayar. Maka jangan rendahkan gelar profesor dengan ego mengejar jabatan dan tunjangan.